Rabu, 10 Februari 2016

Sepotong Cerita Manis Tentang Kebersamaan

Teringat sebuah cerita tentang kebersamaan yang tanpa terasa sudah hampir satu tahun kita melaluinya. Cerita tentang sebuah persahabatan yang berusaha saling mengerti dan memahami, dan tentunya juga menjadi sebuah cerita manis perjuangan menebar manfaat kepada sesama. Tidak ada cerita yang benar-benar sempurna memang, yang berarti tidak ada cerita yang selalu penuh dengan kebahagiaan. Di dalam alur sebuah cerita yang baik, konflik itu pasti ada. Seni yang paling terkesan dari sebuah cerita itu adalah bagaimana para tokohnya menyelesaikan konflik yang dihadapi dan juga mengambil hikmah / pelajaran dari konflik itu. Dan dari setiap tokoh cerita, selalu punya gaya masing-masing untuk bisa memecahkan konflik dan masalah yang dihadapi, termasuk dalam cerita yang sudah kita jalani ini.

Entah kapan tanggal pertama kali kita dipertemukan, mungkin tak ada yang ingat, tapi cerita yang telah kita goreskan ini tentunya akan selalu teringat. Pelajaran tentang sebuah kebersamaan itu mulai tergoreskan perlahan sekitar tanggal 27, 28, 29, 30 April 2012. Turun lapangan, menjelajah rerimbunan semak hutan, menelusur sebuah jalur galvanis. Mungkin jarak tertempuh sejauh 348,051 m dan ketinggian 90,730 m itu dianggap sebagai jarak normal. Namun bagi mereka yang tau bagaimana kondisi lapangan sebenarnya, pasti akan menyerah sebelum mengukurnya. Belum lagi pada waktu itu adalah puncak musim subur, dimana semak belukar hutan yang penuh duri menutup jalur yang seharusnya kami ukur. Awal melihat, mungkin ini sebuah kemustahilan, namun pekerjaan tak akan selesai tanpa dilakukan bukan? Dan akhirnya, semak belukar itu berhasil kami habisi sampai jalur objek ukur kami terlihat jelas dan “nyaman” untuk melakukan ukur.
Pengorbanan fisik sudah jelas ada. Tangan, lengan, kaki yang berdarah mungkin sudah tak kami rasakan, pun di tambah terik matahari yang menyengat membuat hitam kulit kami pun tak kami pedulikan. Manisnya semangat menjadi bermanfaat bagi orang banyak telah mengalahkan semua rasa tak enak. Dalam tim ini kami tidak butuh orang-orang yang banyak beretorika, dan tak ada kerja. Apalagi orang-orang yang takut sengatan panas, takut kulit hitam, takut ular, takut gelap, apalagi takut “blusukan” di semak belukar. Dan Alhamdulillah, personil tim ini adalah personil tim yang hebat. Bahkan hebatnya, 4 orang anggota inti tim kami ini adalah wanita yang tangguh.
Dari sinilah, saya banyak belajar tentang semangat juang orang-orang lapangan yang selama ini sangat jarang saya temukan di kampus. Perjuangan tak sekedar cukup hanya diungkapkan dalam konsep dan draft usulan kertas, saja. Semua akan lebih terasa ketika langsung turun melakukannya. Akhir yang paling indah adalah melihat dan merasakan hasil perjuangan itu bisa bermanfaat bagi banyak orang. Sebuah capaian tentang peran seorang mahasiswa yang kewajibannya tak hanya berprestasi di bangku perkuliahan saja, tapi juga dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Perjalanan cerita ini juga penuh pengorbanan termasuk pengorbanan bolos di beberapa mata kuliah oleh sebagian sahabat dalam cerita ini. Alhamdulillah, untuk ujian, tak ada yang melewatkan. Entah kemudian di akhir mendapatkan nilai apa untuk mata kuliah yang ditinggal itu, saya belum menanyakan. Ketika ada satu yang menolak melakukan pekerjaan dengan alasan “saya banyak tugas kuliah”, ya maka saya pun juga sama. Kami semua juga mahasiswa yang masih kuliah, dan punya banyak tugas. Mari saling menghargai bahwa kita semua punya tanggungan yang sama, yaitu kuliah, tugas, dan yang penting lagi program pengabdian yang akan kita kerjakan bersama kelak ini. Mungkin ini beberapa konflik yang sering terjadi di antara kita. Namun justru dari konflik inilah persahabatan dan persaudaraan ini makin erat, saling mengerti, saling menghargai.
Berbagai perjalanan menuju 9 Juli 2012 itu kadang terasa sangat panjang, pun menurut sebagaian dari kami adalah sangat pendek. Teringat pula beberapa dari sahabat ini yang mengumpulkan botol minuman 1,5 liter, membuat papan tulis, belajar soal kompos meski bukan dari disiplin ilmunya, belajar masak, belajar buat roti, dan lainnya. Survey bolak-balik dalam perjalanan selama 2 jam mungkin menjadi agenda rutin hampir tiap pekan. Kelelahan mungkin jadi teman setia di setiap akhir pekan, dan bahkan sempat terjadi musibah juga ketika dalam perjalanan ini. Alhamdulillah, semuanya tetap dalam kondisi yang baik.
Seiring perjalanan pun, beberapa kali keluarga ini mengalami pergantian. Dari rumpun timur humaniora, ada beberapa sahabat yang singgah, tapi akhirnya pun pergi. Malahan yang banyak bertambah dari rumpun sendiri. Dan akhirnya, inilah keluarga kami yang baru dan bertahan 25 orang. Mayoritas dari kami adalah satu rumpun, dan tambah dari rumpun keilmuan agro yang menambah berwarnanya keluarga ini. Ya, mungkin bukan jadi komposisi yang ideal, tapi justru banyak pelajaran yang kami dapatkan dari keluarga ini. Adanya kekurangan itu pasti, karena memang tak ada yang sempurna, namun yang luar biasa adalah bagaimana kami dapat memetik pembelajaran sebanyak-banyaknya dari ketidakidealan ini.
9 Juli – 15 Agustus 2012, menjadi periode “pertaruhan” akan sebuah semangat dan segala pengorbanan yang sudah dilakukan sebelumnya. Apakah nanti akan berakhir antiklimaks, ataupun akan mencapai klimaksnya saat itu, tak ada yang bisa menentukan kecuali diri kita sendiri. Segala persiapan yang sudah disusun rapi, saat inilah eksekusi lapangannya. Masa periode ini bukanlah periode yang mudah untuk menjajaki daerah baru, dengan tenaga yang terforsir dalam panas terik matahari pesisir selatan jawa, dan juga dengan kondisi puasa, karena waktu itu adalah bulan Ramadhan. Ditambah lagi bahwa program fisik adalah pokok utama program yang akan kami jalankan.
Masa 35 hari ini bisa jadi menjadi masa yang lama, dan bisa jadi menjadi masa yang pendek bagi yang menikmatinya. Hidup di daerah berbatu, kering, dan jauh dari kota menjadi sebuah tantangan 5 pekan ke depan. Bahkan untuk berbelanja, dan mengambil uang di ATM terdekat, kami harus menempuh perjalanan 35 km, sekitar 1 jam. Membiasakan diri dalam kehidupan masyarakat di sinilah yang menurut saya lebih susah daripada pelaksanaan programnya.
Ketika kita sudah terbiasa dalam kehidupan serba kecukupan, dari air, hingga makanan-makanan ringan dan enak tiap harinya, saat ini mencoba hidup sesuai kebiasaan masyarakat yang penuh keterbatasan ini. Kondisi daerah yang kekeringan dan sangat sulit air membuat kami harus berhemat. 2,5 km harus ditempuh kalo memang butuh air yang banyak misal untuk mencuci ataupun mandi (bagi yang cowok aja). Kalo nggak mau, brarti harus merelakan uang Rp 100.000 untuk beli air. Dan disini teringat beberapa dari sahabat ini setiap harinya bangun jam 03.30 untuk kemudian ke sumber air sejauh 2,5 km dengan jalan berbatu dan turun vertikal 110 meter untuk mencuci, mandi dan aktivitas lainnya yang butuh banyak air. Aktivitas ini dilakukan supaya air yang di rumah bisa dihemat dan digunakan untuk keluarga rumah lebih banyak.
Masalah air inilah yang menjadi pokok mengapa kami harus datang di sini. Sebuah ide keilmuan dari bangku kuliah untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat telah kami rancang jauh hari sebelum turun ke lapangan. Dan 35 hari inilah yang akan menjadi waktu eksekusi atas segala konsep perancangan yang sudah disusun sebelumnya, dari tim ini, dan juga dari sahabat, kakak angkatan, sebuah komunitas, Kamase namanya.
Ikut terlibat dalam realisasi keilmuan ini jelas tak semudah menggoreskan pena ke kertas, ataupun menggeser dan klik mouse di layar laptop. Ketika melihat gambar-gambar panel surya, pompa, pipa, semuanya terasa mudah dikerjakan. Tapi di lapangan ternyata banyak dibenturkan ke permasalahan yang tak tercantum dalam desain. Kondisi tanah berbatu, membuat kami bersama masyarakat memecahkan batu batuan yang hampir mirip karang ini hanya untuk membuat lubang pondasi/platform berdirinya panel. Belum lagi kebutuhan semen, pasir, kerikil, yang harus diangkut ke medan sumber yang jauh dari pemukiman pun harus dijalankan untuk pembangunan. Ini semua tak tercantum dalam strategi implementasi, tapi jelas ini harus dijalankan. Yang lebih menambah ujian kami adalah semua ini kami kerjakan ketika kami berpuasa. Sebuah ujian jalan perjuangan yang semoga mendapatkan balasan kebaikan dari Allah. Aamiin…
Pun sama dengan sebagian dari kami yang bertempat di tempat terpisahkan bukit dan lembah luas di sana. Mungkin orang mengira ini adalah kelompok tersendiri, namun mereka adalah bagian dari keluarga ini. Kreativitas, dan pemikiran mereka di sinilah kemudian diuji setinggi-tingginya. Membuat sebuah program “saingan” yang mumpuni untuk menjaga kestabilan sosial masyarakat. Mereka ibarat sebuah “penyangga sosial” yang perannya sangat krusial. Dari keilmuan, mungkin akan sangat sulit membuat karya yang banyak mendorong kemajuan masyarakat. Tapi disinilah kemudian berpikir kreatif dan out of the box mereka banyak berperan dalam pengabdian. Pribadi yang biasanya terkesan kaku dari seorang anak eksak, sekarang menjadi multitasking, supel bergaul dengan masyarakat, menguasai banyak bidang, terutama untuk memecahkan masalah di masyarakat.
Bukit batuan terjal serasa menjadi kawan ketika sunyi, ketika deadlock pikiran dan ketika lelah hanya menjadi kawan. Mungkin masih sangat banyak cerita yang luput diceritakan dari tulisan yang singkat ini. Semuanya tak akan pernah cukup dalam cerita semalaman. Setiap orang punya pandangan sendiri menghadapi perjalanan dalam hidupnya. Dan setiap orang juga punya cara sendiri untuk mengambil pembejaran dari perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Banyak pelajaran yang kami dapatkan dari perjalanan 5 pekan kebersamaan yang lalu ini. Semoga menjadi manfaat dan berkah bagi perjalanan hidup di masa depan.
Goresan cerita saat bersama dalam kesusahan menjadi kenangan yang akan sangat indah saat diingat. Terlepas dari beberapa rasa kesal, marah, saat itu, semua berubah menjadi goresan cerita cerita manis ketika diingat. Dan kalo sahabat sekalian tau, masyarakat begitu terkesan dengan kebersamaan kita. Meskipun waktu yang singkat dulu kita di sana,  itu sangat membekas di hati masyarakat. Beberapa kali ketika saya ke sana, masyarakat sering menanyakan, “mas itu, mbak itu kok nggak ikut kemana mas ? sudah lama nggak ketemu, apa sudah lulus ?”. Nah, sahabat sekalian, tanpa terasa disini keluarga kita sudah bertambah. Mereka sudah menganggap kita sebagai saudara dan keluarga. Jadi, ketika ada waktu luang nanti, semoga bisa diusahakan menengok ke sana. Walaupun sudah lulus, saya kira masyarakat masih mengenal kita semuanya.
Mungkin inilah sementara yang bisa saya tuliskan. Terlalu panjang nanti kalo keterusan, meski sebenarnya masih banyak yang ingin saya sampaikan ke sahabat sekalian. Terimakasih atas kebersamaan yang indah setahun yang lalu. Terimakasih sudah memberikan sebuah cerita yang indah dan pembelajaran tentang kebersamaan, keteguhan dalam kondisi kekurangan, totalitas mengabdi dalam kondisi sulit, semangat pantang menyerah yang tak hancur meski dibenturkan kerasnya batuan kapur.
Bangga bisa mengenal dan hidup bersama kalian, Mas Enggar dan anggotanya di Sub 1, Andik, Alief, Yuli, Fitri, Anisatu, Fanny, yang berusaha rela hidup layaknya orang kampung, memasak dengan kayu, minum air dari air hujan, kemana-mana berjalan kaki, sore ngajar ngajim jalan sekitar 1 km naik turun bukit. Ilham dan anggotanya di Sub 2, Gagad, Munir, Handoyo, Nina, Aristhia, Riyanti, Una, yang selalu masak makanan sendiri tiap hari seadanya, malam bergadang menemani pemuda kampung, bangun malam belanja, menyiapkan masakan sahur, paginya mengerjakan program, sore mengajar ngaji. Cecep dan anggotanya di Sub 3, Mas Zakariya, Aji, Sukma Geodesi, Sukma Monges, Yolanda, Dewa, Irena, Dian, yang banyak memutar otak membuat terobosan program untuk memecahkan problem masyarakat yang sebenarnya juga kesulitan air, membuat berbagai pelatihan ketrampilan masyarakat, dan banyak dikenal masyarakat padukuhan. Terimakasih banyaak.
Setahun sudah hampir berlalu, tapi saya merasa baru kemarin kita beres beres peralatan untuk penarikan. Mungkin terlalu melankolis memang, tapi entahlah ketika menjelang Ramadhan inilah teringat kebersamaan bareng sahabat semuanya. Semoga masih bisa bertemu kembali, dan berkumpul bersama. Sukses selalu untuk mengukir cerita baru yang lebih indah kawan. Jangan pernah berhenti menebar manfaat dan kebaikan. Semoga cerita kebersamaan yang singkat 5 pekan itu selalu kalian ingat.
Ingin mengutip satu statement menarik di film “Mengejar Matahari”,
“Orang lain boleh saja datang dan pergi… tapi, kalo sahabat sejati… mereka nggak akan pernah pergi, karena mereka akan selalu ada di dalam hati…”
Dan kalian semua adalah sahabat sejati bagi saya, kawan..
KKN PPM UGM 2012 Unit 79 Purwodadi, Tepus, Gunungkidul, DI. Yogyakarta.
#unit79totalitas!
Salam hangat totalitas pengabdian dari (mantan) Kormanit Unit 79. :-)
Dalam suasana dingin dan sunyi sabtu malam menjelang tanggal 30 Juni 2013.


Sumber ; https://alunandialektis.wordpress.com/2013/06/30/sepotong-cerita-manis-tentang-kebersamaan/

0 komentar:

Posting Komentar